Monday, January 17, 2022

Pedofilia

Kenalan jauh saya terjerat kasus pedofilia. Saya tidak menemukan cara untuk mempermanis kabar  ini. Yang saya sadari ada dua, bahwa saya sudah tidak berselera untuk mengenal tersangka lebih lanjut, yang kedua bahwa korban kini berani maju karena melihat dukungan pada kasus-kasus pelecehan seksual terhadap perempuan. 

Saya tidak dapat menjelaskan siapa dan bagaimana. Ada baiknya kita menganggap cerita ini sebagai kisah rekaan saja untuk mempermudah kita mengambil jarak dari kenyataan yang suram. Adapun saya merasa perlu menulis hal ini semata-mata karena saya merasa perlu menertibkan apa-apa yang saya yakini. 

Kian gencar dukungan terhadap RUU PKS, pelaporan kasus pelecehan dan pemaksaan seksual terhadap perempuan meningkat. Ini tentu saja hal yang baik, mengingat selama ini kasus kekerasan dan pelecehan terhadap perempuan luar biasa dekat dan dinormalisasi di balik kelir. Rasanya kita-kita ini pasti pernah mendengar kasus-kasus berkaitan dari lingkar pergaulan kita. 

Walaupun sejauh ini saya tidak ikut merayakannya dan hanya menjadi penonton yang baik, namun saya mengamati bahwa dukungan-dukungan keras di dunia maya merupakan hasil pancingan emosi. Sebenarnya saya tidak melihat hal baik dari semangat sumbu pendek. Biasanya ketika orang-orang yang bersemangat itu sudah tenang, dan hidup memaksa mereka untuk berkonsentrasi pada urusan lainnya, dukungan-dukungan itu lenyap seperti dibawa angin. Simpati pada etnis tertentu, penggusuran, dan kasus orang-orang marjinal, biasanya kehilangan pendukung setelah kemarahan mereka sudah dilontarkan atau beritanya sudah berganti. Kemarahan sesaat itu rasanya perlu, walaupun pengawalan yang menerus jauh lebih genting.

Sejauh yang saya ingat dan sepanjang saya dikasih dengar, kasus kriminal terhadap perempuan membuahkan konsekuensi yang serius. Tidak hanya pemaksaan seksual, tetapi juga kekerasan rumah tangga, keduanya melukai korban dan orang-orang di sekitarnya hampir-hampir permanen.

Cerita kekerasan rumah tangga yang pernah saya dengar, misalnya: ada bapak dan ibu bertengkar hebat untuk hal sepele, atau hal sepele yang berulang-ulang, atau karena hari yang kelewat panas, hal sepele ini jadi tidak bisa diterima. Tiba-tiba tangan sang bapak jadi sangat ringan, mengambil benda yang salah, lalu mendarat di tempat yang keliru, lalu menyebabkan luka. Bisa jadi hanya sekali atau dua kali, atau berkali-kali, tapi akibatnya sama. Si ibu diam-diam menumpuk luka batin. Biasanya lanjutan dari cerita ini berakhir dengan duduk bersama dan teh hangat. Kehebohan ini sejenak-sejenak saja, tapi bertanggung jawab atas trauma yang menahun. Tidak jarang si anak juga menjadi korban proyeksi dendam orang tuanya. 

Ada lagi teman perempuan yang menjadi korban pelecehan seksual. Pelaku merebut keperawanannya saat ia tak sadarkan diri akibat mabuk. Teman saya merasa kotor, dan tetap kotor walaupun telah mandi sesegera mungkin. Anehnya, beberapa hari kemudian teman saya mencerna kejadian itu sebagai konsekuensi pergaulan dan melanjutkan hidupnya. Namun sejak hari itu, ia tampak gamang terhadap batas-batas seksual atau dengan siapa ia melakukannya. Hal ini mengubah tata hidupnya, caranya berhubungan dengan lawan jenis, dan masalah turunan lainnya. 

Saya sungguh-sungguh percaya bahwa kesialan yang sebentar ini bisa mengubah hidup seseorang. Yang pertama terjadi akibat ketidakmampuan pasangan bernegosiasi, dan yang kedua karena, seperti ungkapan Budi Darma dalam cepren Ozak sebagai "menjadi binatang sesaat". Dalam berita kekerasan rumah tangga saya telah melampaui ingatan itu, dan saya tidak berharap orang lain mengalaminya. Saya juga masih bisa menerima berita pahit yang kedua, karena belakangan saya dengar bahwa teman saya kini menjadi perempuan kuat. Kemalangan itu ternyata menempa dirinya. Namun itu tidak perlu terjadi dan lebih banyak perempuan yang menjadi korban trauma berkepanjangan. 

Kembali pada soal pedofilia, untuk kasus-kasus yang menggempur anak di bawah umur, saya tak pernah bisa berdamai. Saya selalu percaya bahwa anak-anak tidak memiliki kapasitas yang cukup untuk mengerti hasrat seksual. Mereka baru pantas memahami intimasi fisik ini pada usia tertentu. Harusnya orang dewasa secara sadar memahami betul hal ini, kecuali mereka begitu sakit. Saya mengerti bahwa pedofilia adalah penyakit mental yang serius, tetapi pengidapnya punya pilihan untuk menolong dirinya sendiri. 

Ada satu film yang membekas di benak saya. Judulnya Happiness (1980), bercerita tentang beberapa tokoh berkepribadian rusak yang saling berhubungan. Ada orang cabul, pembunuh, dan penulis kopong. Salah satu protagonis lain mengidap pedofilia, ia berupaya untuk menggagahi teman anaknya dengan berbagai siasat. Film ini memang dikemas sebagai humor yang satir, artinya setelah sisa-sisa tawa habis, terbit rasa pahit di lidah dan pikiran. Kali kedua saya menonton film tersebut baru-baru ini, saya tidak bisa lagi ketawa secuilpun. 

Saya merasa yang bisa saya lakukan hanyalah mencatat sambil berusaha mengurai kemarahan yang saya rasakan. Ketika mengetahui anak kecil yang saya kenal kehilangan kepolosannya, akal saya berkabut. Mungkin karena itu saya menulis, dengan niat mencerna secara elegan. Namun karena pada dasarnya saya marah, saya berusaha melupakan dengan meluapkannya seperti orang-orang di media sosial. Hanya bedanya saya mengembik di blog. 

Saturday, January 8, 2022

There is more to life than wanting


Setahun yang lalu, saya mengira akan terus hidup seperti layangan putus. Terlunta-lunta angin, tidak jelas akan berakhir dimana. Terus mimpi saya direbut pelakor (jika saya perempuan). Untungnya tidak, saya masih hidup dengan kualitas yang lebih baik.  

Ketika kecil, saya (dan mungkin sampeyan juga) dijejali cerita tokoh besar. Anak-anak 90-an mungkin akrab dengan buku seri tokoh dunia sebagai teman pengantar tidur. Saya ingat kado buku pertama dari kakek adalah komik Isaac Newton. Kakek memang selalu ingin cucunya menjadi ilmuwan atau sejenisnya. Judul-judul lainnya menyusul, salah satu tokoh favorit saya Edison, sebelum saya tahu bahwa dia brengsek. Lantas, karena kado-kado ini saya tumbuh sebagai anak yang suka membaca, bahkan punya kegenitan pada astronomi. Misalnya, hingga hari ini saya masih menunggu kedatangan komet Halley pada tahun 2061. Efek samping lainnya, ketika teman seusia bermimpi jadi dokter atau artis (atau anak sekarang, youtuber), saya punya mimpi untuk menjadi bagian dari seri komik tokoh dunia.  

Lalu saat dewasa saya sadar bahwa keinginan menjadi orang besar adalah juga masalah besar. Sepele sebenarnya. Menginginkan sesuatu itu wajar, tetapi menempatkan diri sebagai orang besar menandakan gejala delusi. Semakin tua saya mengenal banyak orang, saya melihat lebih banyak orang besar tidak merencanakan diri untuk menjadi legenda. Hal itu kompensasi dari perbuatannya saja. Kebetulan orang itu jadi berkilau, lalu orang-orang mengelilinginya seperti laron.

Saya berhenti ingin ini ingin itu banyak sekali sejak 2 tahun ke belakang. Saat saya dipaksa untuk bertahan hidup dalam isolasi akbar pandemi. Nampaknya, banyak orang jadi tahu diri atau mengenal sisi lain dirinya saat itu. Misalnya, kawan saya jadi paham dirinya bucin karena berjarak dengan pacarnya. Ada teman yang menemukan bakat bertukang atau berdagang. Yang saya temukan? Bahwa saya sudah punya semua yang saya butuhkan. 

Klise sih, tapi kalau dipikir benar-benar, dengan dilandasi etik yunani manapun, semua orang sudah pada tempatnya. Orang-orang di persimpangan, memang waktunya untuk bersimpang. Orang-orang di belakang meja, walaupun suka berkeluh, memang sudah tempat dan nuansanya begitu. Begitu pula dengan, -walaupun menyedihkan, orang-orang yang kebagian hidup sebagai martir (mati muda, cacat, tidak atau kurang berakal). Begitu bahagianya saya saat menyadari bahwa saya bukan seorang martir. 

Di tahun lalu banyak kesempatan mujur yang saya dapatkan. Mulai dari kerja bersama warga untuk perbaikan kampung, merancang rumah orang di pelosok Sukabumi, menjadi co-curator untuk pameran lucu sebuah museum, menulis buku (yang masih tertunda), menjalani hubungan dengan puan yang sangat baik, melakukan penelitian asik tentang hantu dan arsitektur bersama senior favorit saya. Jadi kini saya melihat bahwa menulis adalah panggilan romantis, tetapi banyak proyek kreatif dan kerja-kerja penelitian yang terbuka bagi saya. Teman-teman saya sungguh baik, dan sejatinya saya gembira bekerja bersama warga. 

Catatan penting untuk diri sendiri (walaupun jarang sekali blog ini saya baca, jadi mungkin untuk yang membaca): bahwa semua baik-baik saja, dan apapun yang sedang terjadi, semua akan kembali normal. Tidak ada perasaan atau masalah yang final. 

Saya butuh setahun konsultasi profesional untuk betul-betul menghayati hal tersebut. Jadi percayalah bahwa pengetahuan ini sudah disokong oleh rumpun disiplin terintegrasi, penelitian panjang, dan gelontoran dana BPJS yang maha besar, bukan sekedar cuap-cuap motivasional. 

Tentu jalan terapi saya masih panjang, ada pikiran berkabut yang belum beres. Misalnya masih ada orang yang saya benci hingga rasanya ingin saya tinju wajahnya jika berjumpa (sekali saja, pow! Lalu saya cabut). Ingatan traumatis ini saya kategorikan sebagai pikiran yang sulit diselesaikan seperti kubus rubiks. Kadang ingatan itu saya coba urai lalu saya simpan dan lupakan, tetapi rasanya akan memakan waktu yang panjang. Namun urusan bipolar memang pekerjaan penuh waktu sepanjang hayat, dan tujuan untuk menjadi penyintas tanpa konsumsi obat masih hal yang saya idamkan. 

Tentang menjadi besar bukan lagi soal. Namun bukan berarti saya berdamai dengan pikiran "yang penting menyambung napas". Ada hal-hal yang masih ingin saya raih, tentunya dengan memahami betul kapasitas diri dan cara-cara aktual yang mesti dilakukan. Jika saya bisa melewati Desember 2020 yang dingin, maka rasanya saya bisa mencapai, dan berhak untuk hal tersebut. 

Saya juga lagi senang membaca mendiang Onghokham, mudah-mudahan kedepannya saya bisa menyalakan lagi api asmara pada perbukuan.  

Oh ya, tanpa dibuat-buat, postingan ini pas setahun sejak tulisan terakhir saya disini. 

Selamat tahun baru, Bangkit. 

Friday, January 8, 2021

Kalau-kalau

Diantara banyak kalau, saya kadang melamun tentang skenario kelahiran. Pertanyaan semacam itu memang melorong jauh dari hal-hal yang perlu dipikirkan. Misalnya, saya dilahirkan sebagai anak juragan ayam goreng, mungkin hidup akan lain. Dulu saya sempat berharap begitu. Namun hidup yang liyan belum tentu semenarik ini. 

Beberapa waktu lalu sepupu dekat saya melahirkan, dan kejannya membuahkan hasil yang ganteng. Dari hidung sampai dagu si anak menyalin ibunya. Bapaknya kebagian bagian bawahnya. Keduanya sangat bahagia, dan kebahagiaan yang tidak dibuat-buat selalu menular. Sayang sekali saya belum kebagian bertemu si anak, yang kelak saya ajari untuk memanggil saya Paman. Bukan om, bukan pakde. 

Kalau-kalau si anak lahir sehari kemudian, ia akan berulangtahun sama dengan kakeknya. Om paling gaul dengan nama tokoh wayang yang saya kagumi. Sayang sekali, beliau sudah berpulang awal tahun kemarin. Banyak harapan yang ditanam pada si anak, tentu saja, tetapi lebih banyak kelegaan dan kegembiraan di tengah situasi semacam ini.  

Selain yang telah disebutkan, beberapa teman dekat turut membawa momongan. Berita kelahiran selalu membikin saya gembira. Tidak seperti berita pernikahan, kabar kelahiran tidak membuat saya jengah. Anak adalah bentuk paling nyata dari urusan cinta. Baik dengan atau tanpa rencana, kelahiran lebih banyak ditunggu-tunggu. Di hari pertamanya lahir, seorang anak telah didoakan dengan sedemikian rupa. 

Persis tanggal 1 kemarin misalnya, seorang teman yang belum kepala tiga dikaruinai anak nomor dua. Saya kedapatan membantu menggali lubang ari-arinya jam 11 malam. Tidak terpikir saya akan memulai tahun baru seklenik itu. Namun yang menarik kemudian adalah obrolan dengan ibu teman saya, yang menjelaskan lagi ritual tersebut sebagai bentuk doa dan banyak kalau-kalau. 

Sebetulnya saya tidak asing dengan ritual penguburan ari-ari, yang diperlakukan sebagai perwakilan si anak. Dengan sendirinya, segala perlakuan terhadap ari-ari adalah bentuk doa. Ia dicuci bersih, kemudian dibumbui bermacam rempah agar watak anaknya menarik, kendilnya diberi kain dan perca agar si anak bisa berpenampilan, dikubur bersama jarum agar lakunya tajam, dan ditanami pipa agar ia pandai mendengar. Tak ketinggalan, ari-ari ditanam di depan rumah agar si anak dapat memimpin. 

Saya jadi melamun, apakah ari-ari saya dimakan kucing sebelum diurus seperti itu.  

Saat saya berkunjung ke rumah, kami membicarakan hal tersebut. Ibu mengguyon bahwa bapak mencuci ari-ari sambil berdangdut, lalu merembet ke hal-hal kecil lainnya yang baru bisa diingat belakangan. Tematik hari itu adalah anak, dan memaksa saya untuk kembali berlakon sebagai anak. 

Banyak harapan yang ditanam pada anak dan kandas, dalam soal saya, yang kandas jauh lebih banyak. Seakan sawah yang terlibas puso, kemudian banjir menahun. Namun saya tidak menemukan sedikitpun raut "kalau saja" di wajah orang tua. Saya cukup beruntung untuk diizinkan berjalan menjadi orang tanpa dituntut banyak syarat, dan saya bisa pulang sebagai anak kapanpun saya mau.  


Sunday, November 29, 2020

Mengkontemplasi Maut


Sedikitnya setiap satu jam, seseorang di Indonesia merenggut nyawanya sendiri. Artinya ada sekitar 8.765 (minimal) orang meninggal dunia akibat bunuh diri setiap tahunnya. Itu pun angka yang dilaporkan. Rapot merah ini adalah salah satu alasan mengapa perkara bunuh diri mesti dibicarakan, yang selama ini hanya meradang di balik obrolan yang berlindung pada keharusan-keharusan yang mengabaikan betapa menggodanya tawaran untuk tidur yang paripurna. 

Wednesday, October 14, 2020

Dilarang ngutang di warung sendiri

Beberapa bulan ini emosi saya naik-turun seperti jakun seorang penyanyi dangdut. Namun tidak semerdu melodi yang dihasilkan lagu dangdut, turbulensi yang sengit ini membuat kepala saya kacau. Misalnya, saya bisa bangun pagi dengan rasa sedih yang tiba-tiba, kemudian melenting gembira di malam hari, atau sebaliknya. Jika mengikutinya, saya akan larut dalam kedua ekstrim nada tersebut. Maka, sepanjang hari saya berupaya untuk meredam kedua emosi yang tajam ini sambil terus bergerak. Tentu ini memakan waktu dan stamina. Rasanya seperti berjalan di bawah hujan lebat atau kabut yang tebal. Adapun, beberapa bulan hingga sekarang pergulatan itu belum pungkas. 

Saturday, October 3, 2020

Kepala yang Ricuh


Beberapa tahun silam, seorang dosen pernah menyatakan topik penelitian yang menarik tentang Kartini. Beliau punya premis  bahwa Raden Ajeng Kartini yang kini merupakan arkitipe perempuan Indonesia, mampu membuka lebar-lebar cakrawala pemikirannya dan menginkubasi gerakan emansipasi wanita dengan surat legendarisnya, lantaran beliau dipingit di sebuah kamar oleh bapaknya. 

Friday, August 21, 2020

Apa yang dipikirkan seekor kucing?

 


Saya ingat dalam buku The Animal That Therefore I am, Jacques Derrida pernah bertelanjang bulat di depan seekor kucing sambil mempertanyakan hal itu. Keduanya saling menatap sejenak sebelum si teroris tekstuil itu mulai meracau tentang kapasitas intelektual seekor binatang, lantas mengantar argumen reflektif tentang kemanusiaan. Buku itu saya baca selintas, dan merupakan salah satu tulisan Derrida yang masih relatif enak dinalar.

Sialnya, sejak saat itu saya selalu terbayang Derrida bugil tiap ganti baju di depan kucing. 

Monday, August 3, 2020

Yang Dibungkus Belum Tentu Mati


Saya masih heran pada selera bestiality, tapi soal fetish bungkusan kain jarik tidak lagi mengejutkan. 

Tumbuh di lingkungan remaja yang membaca stensil sembunyi-sembunyi, sejak SMP saya sudah disuguhi konsepsi fetish. Saya masih ingat betul pertama kali mendengar ulasan teman tentang cerita dewasa a la tetangga yang ia baca di website bodong, respon lugu saya adalah: 

"Terus mereka ditangkap polisi nggak?"

Saya dulu anak baik-baik.